Salah satu
bahasan yang cukup penting dalam sosiologi hukum adalah bagaimana
tipe-tipe masyarakat serta pengaruhnya terhadap sifat khas hukum. salah
satu contoh yang cukup menarik jika kita membandingkan antara model
masyarakat litigatif ala Amerika Serikat dengan masyarakat anti
litigatif ala Jepang. Model itu oleh para pakar hukum sosilogi diberi
isitlah lain seperti memperlawankan model masyarakat konflik dan
masyarakat kompromistis atau memperlawankan masyarakat primitive dan
masyarakat modern atau dengan model-model lain.
Salah satu
contoh yang menunjukkan perbedaan persepsi warga masyarakat terhadap
model hukum yang berlaku di dalam masyarakat, dapat terjadi dan
menimbulkan kesenjangan antara sistem hukum yang berlaku dengan perasaan
hukum warga masyarakat, antara lain seperti yang dikemukakan oleh
Gerald Turkel berikut ini :
Setelah terpilih kembali dalam pemilihan ulang untuk memilih anggota US House of Representation pada
tahun 1924 , Fiorello La Guardia dikunjungi di kantornya oleh seorang
tua imigran Italia yang sangat terganggu oleh panggilan pengadilan. La
Guardia dengan seksama mendengarkan keberatan orang tua tersebut. Si
orang tua itu mengemukakan bahwa ia telah memukul anak wanitanya yang
berusia 18 tahun ketika si anak pulang pada jam 11 tengah malam dari
kencannya dengan teman laki-lakinya. Orang tua itu mengemukakan bahwa
sebelumnya ia sudah menginngatkan anak wanitanya untuk tuidak
berhubungan dengan lelaki tersebut. Kemudia anak wanitanya mengadukan
perbuatan ayahnya ke pengadilan karena telah memukul dirinya. Sang anak
menggunakan hukum, sebagai suatu kekuasaan luar dan asing untuk melawan
orang tuanya sendiri. Guardian menjelaskan kepada orang tua tersebut
bahwa keadaan di Amerika Serikat berbeda dengan keadaaan di negerinya di
Italia. Di Italia, kata-kata seorang ayah merupakan perintah bagi
anak-anaknya, termasuk anak yang berumur 18 tahun. Dan juga adalah biasa
bagi seorang ayah untuk memukul anaknya jika anak itu tidak mematuhi
ayahnya.kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya di Italia sangat besar,
merupakan hal yang sangat biasa jika seorang ayah menentukan persoalan
perkawinan anak wanitanya.Di Amerika Serikat keadaannya berbeda,
kekuasaan orang tua masih dapat dipertanyakan, di Amerika Serikat, anak
mempunyai hak untuk mempengadilankan orang tuanya.
Oleh karena
hukum sangat sering merupakan sesuatu yang aneh jika kita pandang dari
moral yang kita anut, maka menurut Turkel kita harus menganalisanya
dengan menggunakan konteks yang lebih luas. Kita harus mempelajari
bagaimana masyarakat itu diorganisir dan bagaimana organisasi sosial
dalam kaitannya dengan kultur menjadi memahami kekuatan-kekuatan yang
membentuk norma-norma hukum dan pranata-pranata hukum.
Achmad Ali membagi 4 tipe masyarakat yang saling bertentangan yaitu :
- Masyarakat Antiligasi dan Masyarakat Litigasi;
- Masyarakat Konsensus dan Masyarakat Konflik;
- Masyarakat yang didominasi oleh hukum dan Masyarakay yang didominasi oleh kultur;
- Masyarakat Sederhana dan Masyarakat Kompleks.
1. Masyarakat Antiligasi dan Masyarakat Litigasi;
Menurut Prof
Kawashima, menganggap besar kemungkinan tiada masyarakat didunia ini
dimana litigasi alias penyelesaian melalui pengadilan dianggap sebagai
cara yang normal untuk menyelesaikan sengketa. Sangat jarang terjadi
dimana kedua pihak yang bersengketa akan memaksakan tuntutannya
sedemikian jauh sehingga membutuhkan penyelesaian dengan cara datang ke
pengadilan; sebagai penggantinya, salah satu dari pihak yang bersengketa
kemungkinan besar akan menawarkan ganti rugi yang memuaskan atau akan
mengusulkan penggunaan suatu prosedur informal di luar pengadilan.
Namun orang
Jepang umumnya tidak menyukai berlitigasi (berproses di pengadilan),
tetapi bukan berarti orang Jepang adalah pelanggar hukum. Mengapa orang
Jepang anti litigasi :
Pertama, sikap masyarakat Jepang yang menganggap persengketaan pada hakikatnya merupakan suatu yang buruk.
Kedua, litigasi
dihindari di Jepang sebab sistem ini membuat kesulitan utuk dapat
memasuki pengadilan, terlalu banyak pranata perintang.
Ketiga, terdapat
cukup tersedia informasi empiris yang memungkinkan baik penggugat
maupun tergugat untuk memperkirakan apa yang bakal terjadi kalau mereka
menggunakan sistem peradilan, justru dari perkiraan yang empiris mereka
saksikan, warga masyarakat umumnya berpendapat bahwa sebaiknya
persengketaan tidak diakhiri dengan melalui pengadilan.
Keempat, masyarakat
Jepang lebih senang kompromi daripada konfortasi. Sikap itu tetap
berlaku sampai saat ini. Orang-orang Jepang selalu menyukai penyelesaian
dengan cara mediasi atau konsiliasi agar dapat mempertahankan hubungan
yang harmonis, daripada sekedar menentukan siapa yang salah dan siapa
yang benar.
Orang-orang
Jepang tidak menyukai “pemenang” dan “orang kalah” . mereka lebih
agresif daripada orang-orang Anglo Saxon atau orang-orang Jerman.
Seseorang yang memaksakan hak-haknya dianggap sebagai seorang yang tidak
fleksibel dan egois. Kewajiban adalah lebih penting daripada hak-hak
individu. Mengajukan gugatan ke pengadilan berarti menghancurkan
kemampuan seseorang untuk bernegoisasi dan menurunkan kemandirian.
Litigasi dianggap merusak hubungan yang lama.
Kalau orang
Jepag dimitoskan dengan menggunakan model antilitigasi, sebaliknya
masyarakat Barat utamanya masyarakat Amerika Serikat sangat menyukai
litigasi, masyarakat litigasi selalu menyelesaikan masalah melalui
pengadilan.
Kecenderungan
barat yang mengidentikkan hukum dengan pengadilan sangat tampak pada
pandangan realisme, dimana realism hukum merupakan studi tentang hukum
sebagai suatu yang benar-benar secara realistis dilaksanakan.
Chipman Gray
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum, hanya aturan-aturan yang
ditetapkan melalui pengadilan. Sebaliknya undang-undang maupun materi
hukum lain hanya merupakan sumber hukum belaka. Pandangan semacam ini
jelas membentuk pemikiran warga masyarakatnya untuk berkecenderungan
litigatif, karena hanya melalui proses pengadilanlah maka hukum dapat
ditegakkan.
Pendekatan
realism hukum diterapkan hanya di suatu masyarakat di mana bagian
terbesar dari hukumnya dikembangkan melalui pengadilan-pengadilannya
seperti halnya masyarakat Amerika Serikat yang dikenal sangat litigatif.
Pendekatan realism hukum ini hamper tidak diterapkan di masyarakat
antilitigasi seperti masyarakat Jepang, dan juga tidak diterapkan di
masyarakat yang menggunakan sistem menuangkan sebagian besar hukumnya
nsecara tertulis dalam wujud perundang-undangan.
Para penentang
realism berpendapat bahwa hukumlah yang lebih dahulu ada, barulah
kemudian pengadilan. Definisi hukum yang menyatakan hukum sebagai apa
yang diputuskan oleh pengadilan, sama dengan mengatakan bahwa obat
adalah dituliskan di atas kertas resep dokter.
Seperti halnya
konon telah terjadi perubahan pada masyarakat Jepang yang sedikit demi
sedikit mulai dapat menerima penyelesaian secara litigasi, maka hal yang
sebaliknyapun terjadi di Amerika Serikat dari yang dulunya sangat
litigatif, sedikit demi sedikit mulai meninggalkan penyelesaian secara
litigasi, khususnya di bidang bisnis. Mereka mulai menggunakan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, baik melalui cara arbitrasi,
mediasi maupun konsiliasi.
Jadi, pilihan
yang menentukan apakah warga masyarakat memilih pengadilan sebagai wadah
penyelesaian konflik atau tidak masih tergantung pada berbagai factor
non hukum antara lain biaya yang harus dikeluarkan jika memilih
alternative berpengadilan.
Pertimbangan
lain, khususnya dalam sengketa bisnis, adalah cepat lamanya proses
pengadilan itu. Meskipun pada akhirnya ada pihak yang dimennangkan oleh
pengadilan, tetapi karena lamanya proses pengadilan untuk membuat
keputusan yang berkekuatan hukum tetap, maka kemungkinan besar pihak
“pemenang” tetap “kalah” secara financial, karena sudah terjadi inflasi
dan perubahan nilai mata uang.
2. Masyarakat Konsensus dan Masyarakat Konflik
Diskusi hukum
secara sosiologis dalam masyarakat umumnya didasarkan pada salah satu
dari dua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat, yaitu pandangan
konsensus integrasi (integration-consensus) dan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif).
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus)
menggambarkan masyarakat yang terintegrasi secara fungsional dan
relatif memiliki sistem yang stabil. Sistem tersebut diadakan dan dibuat
secara bersama dan didasarkan pada suatu kesepakatan atau konsensus
dasar atas nilai-nilai. Ketertiban sosial (social order) merupakan hal yang relatif permanen dan para individu dapat meraih kepentingan-kepentingan mereka melalui kerjasama.
Pandangan ini
memandang konflik sosial sebagai upaya perjuangan tidak diperlukan bagi
para individu dan kelompok yang belum memperoleh pemahaman yang cukup
tentang kepentingan bersama dan saling ketergantungan secara mendasar.
Pandangan ini justeru menekankan pada rasa kepaduan (cohesion), rasa solidaritas, rasa kesatuan (integration), sikap kerjasama (cooperation)
dan stabilitas masyarakat, yang dilihat sebagai budaya berbagi dan
kesepakatan pada nilai-nilai dan norma-norma yang fundamental.
Sedangkan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif) bertolak belakang dengan pandangan konsensus integrasi (integration-consensus).
Pandangan ini mencirikan masyarakat yang terdiri dari para individu dan
kelompok ini dengan munculnya konflik dan perbedaan yang diadakan
bersama secara paksaan.
Dalam pandangan ini, ketertiban merupakan ketidakstabilan dan hanya bersifat sementara (temporary).
Hal ini disebabkan karena setiap individu-individu dan
kelompok-kelompok berupaya untuk memaksimalkan pencapaian kepentingannya
masing-masing dalam dunia yang memiliki keterbatasan sumber daya dan
berbagai jenis barang.
Pandangan ini juga memandang konflik sosial (social conflict)
sebagai tindakan intrinsik terhadap interaksi antara para individu dan
kelompok. Selanjutnya dalam pandangan ini, untuk mempertahankan dan
memelihara kekuasaan diperlukan dorongan (inducement) dan paksaan (coersion). Oleh karenanya, hukum merupakan alat penekan/represif (instrument of repression)
sehingga kepentingan-kepentingan kekuasaan mampu dipertahankan sebagai
alternatif kepentingan-kepentingan, norma-norma dan nilai-nilai.
Hal pokok
terkait kedua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat diatas,
menurut pendapat Ralf Dahrendorf adalah bahwa tidak mungkin dalam
kenyataan (empirical) memilih salah satu dari dua pandangan
tersebut, baik stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi
dan disfungsi, konsensus dan pembatasan, keseluruhannya hanyalah
imajinasi dari suatu masyarakat (1958: 174-175). Maka pada saat hukum
dipandang dari salah satu pandangan diatas, tidaklah mengherankan,
memunculkan peranan hukum yang berbeda.
Pandangan Konsensus Integrasi (Integration-Consensus Perspective)
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) ini melihat hukum sebagai suatu kerangka kerja yang netral (a neutralframework)
untuk mempertahankan dan memelihara integrasi masyarakat. Salah satu
sarjana terkemuka dan paling berpengaruh adalah Roscoe Pound
(1943-1959). Menurut Pound, masyarakat sebagai keragaman kelompok yang
kepentingan-kepentingannya seringkali bertentangan satu sama lain,
tetapi pada dasarnya berjalan secara harmonis.
Roscoe Pound
memandang berbagai kepentingan merupakan unsur pokok bagi keberadaan
masyarakat dan mempertahankan bahwa rekonsiliasi antara kepentingan yang
bertentangan dari keberagaman kelompok dalam masyarakat adalah penting
untuk melindungi dan memelihara ketertiban sosial (social order).
Dengan kata
lain menurut pendapat Pound, hukum adalah upaya untuk meraih kepuasan,
rekonsiliasi, harmonisasi, penyesuaian terhadap berbagai pertentangan
tuntutan dan permintaan, bahkan memberikan perlindungan secara langsung
dan segera, atau memberikan jaminan perlindungan atas berbagai
kepentingan individu, sehingga memberikan dampak luas bagi kepentingan
warga masyarakat dengan pengorbanan yang minimal pada berbagai
kepentingan tersebut secara keseluruhan. (Pound, 1943: 39)
Dalam
pandangan Pound, hukum dalam masyarakat yang heteronom dan pluralistik,
sebagaimana di Amerika Serikat, memerlukan pemahaman yang baik sebagai
upaya kompromi masyarakat dengan menekankan pada ketertiban sosial dan
harmonisasi. Pound memberikan argumentasi bahwa dalam sejarah
pembangunan hukum telah menunjukkan suatu pengakuan terhadap pertumbuhan
dan kepuasan kebutuhan manusia, tuntutan dan keinginan melalui hukum.
Pada masa
lampau, hukum lebih memusatkan perhatiannya dengan memenuhi berbagai
spektrum kebutuhan manusia. Hukum benar-benar mewujudkan keinginan
masyarakat dan mendatangkan kepuasan bagi kebutuhan masyarakat (Pound,
1959: 47).
Selanjutnya, Roscoe Pound juga memandang hukum sebagai bentuk perubahan sosial (social engineering)
yang diarahkan untuk mewujudkan keharmonisan masyarakat. Pound
berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mempertahankan dan memastikan
esensi nilai-nilai dan kebutuhan terhadap ketertiban sosial (social order), tidak dengan memaksa keinginan suatu kelompok kepada kelompok lainnya, akan tetapi dengan melakukan pengawasan (controlling),
rekonsiliasi dan mediasi terhadap keberagaman dan pertentangan
kepentingan antara para individu dan kelompok masyarakat. Singkatnya,
tujuan hukum adalah untuk mengawasi berbagai kepentingan dan
mempertahankan atau memelihara keharmonisan dan integrasi masyarakat.
Talcott
Parsons (1962: 58) berpendapat bahwa fungsi utama sistem hukum adalah
integritas. Untuk menyederhanakan pertentangan elemen-elemen yang
berpotesi dan untuk memudahkan metode-metode atau alat-alat komunikasi
sosial.
Sosiolog
lainnya adalah Harry C. Bredemeier (1962) yang menerima pandangan ini
dan meyakini bahwa perlunya masyarakat untuk menambah mekanisme informal
dengan mekanisme formal dalam mewujudkan dan menciptakan kerjasama
antar individu. Hukum sebagai suatu badan peraturan perundang-undangan (body of rules) yang dibentuk oleh perwakilan dari masyarakat untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat itu sendiri.
Hukum pada pokoknya merupakan lembaga netral (a neutral agent), menyediakan penghargaan (rewards) dan hukuman (punishment)
tanpa penyimpangan. Asumsi dasar pandangan ini ialah bahwa sistem
politik adalah pluralistik; yang tersusun atas beberapa kelompok
kepentingan yang memiliki kekuatan yang seimbang.
Hukum
merefleksikan kompromi dan konsensus antara beragamnya kepentingan
kelompok-kelompok dan nilai-nilai fundamental demi terwujudnya
ketertiban sosial (Chambliss, 1976 : 4).
Pandangan Konflik Paksaan (Conflict-Coercion Perspective)
Berbeda dengan
pandangan Konsensus Integrasi, pandangan Konsensus Konflik melihat
hukum sebagai senjata dalam konflik sosial (Turk 1978) dan sebagai
suatu instrumen tekanan yang dipimpin oleh kelompok yang sedang
berkuasa demi kepentingan mereka (Chambliss dan Seidman, 1982:36).
Menurut
pandangan ini, transformasi masyarakat yang kecil, relatif homogen
menjadi jaringan kelompok dengan kekhususannya merupakan evolusi dari
kedua keinginan dan kepentingan antar kelompok. Jika terjadi konflik,
mereka bersaing agar kepentingannya dilindungi dan dituangkan secara
formal dalam bentuk undang-undang (hukum).
Richard
Quinney menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu alat pengontrol
dari kepentingan-kepentingan yang ada melainkan sebagai ekspresi dari
berbagai kepentingan tersebut.
Pertama,
Quinney berpendapat bahwa masyarakat dibentuk oleh keragaman, konflik,
paksaan, dan perubahan, bukan dibentuk oleh konsensus dan stabilitas.
Kedua,
hukum adalah hasil dari pelaksanaan kepentingan-kepentingan yang
berfungsi diluar kepentingan tertentu. Meskipun hukum dapat mengontrol
kepentingan, namun hukum sejak awal diciptakan oleh kepentingan
orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu; tidak jarang merupakan
produk dari seluruh masyarakat. Hukum dibuat oleh manusia, mewakili
kepentingan khusus, yang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan
kepentingan mereka ke dalam kebijakan publik. Tidak sama seperti
konsepsi politik yang plural, hukum tidak mewakili kompromi dari
kepentingan masyarakat yang beragam, akan tetapi mendukung beberapa
kepentingan lainnya (1970:35).
Pendukung
Pandangan Konflik-Paksaan meyakini hukum sebagai alat dimana penguasa
menjalankan kontrolnya. Hukum melindungi pemilik kekuasaan dan juga
untuk menekan ancaman politik terhadap posisi elit.
Namun para
advokat memiliki pandangan sebaliknya. Tidak semua hukum itu diciptakan
dan dilaksanakan demi keuntungan para penguasa semata dimasyarakat.
Hukum melarang pembunuhan, perampokan, kerusuhan, hubungan sedarah (incest),
dan penyerangan. Dimana kesemuanya ini menguntungkan seluruh anggota
masyarakat, terlepas dari posisi ekonomi mereka. Sehingga hukum itu
sebenarnya lebih luas daripada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa
penguasa mendikte isi hukum dan penegakannya hanya untuk melindungi
kepentingan mereka sendiri.
Kedua
pandangan tersebut mengandung kebenaran. Hukum dapat merefleksikan
kepentingan tertentu dari pihak penguasa dan pihak yang memiliki
pengaruh di masyarakat.
3. Masyarakat Didominasi oleh Hukum dan Masyarakat Didominasi oleh Kultur
Masyarakat
didominasi oleh hukum dan kultur, adapun pengertian masyarakat hukum
adalah segala bidang diatur oleh hukum sedangkan kultur adalah
menjungjung nilai-nilai yang hidup dilingkungannya.
Pada
mulanya masyarakat kota sebelumnya adalah masyarakat pedesaan, dan pada
akhirnya masyarakat pedesaan tersebut terbawa sifat-sifat masyarakat
perkotaan, dan melupakan kebiasaan sebagai masyarakat pedesaannya.
Perbedaan
masyarakat pedesaan dan masyarakat kota adalah bagaimana cara mereka
mengambil sikap dan kebiasaan dalam memecahkan suata permasalahan.
Karakteristik
umum masyarakat pedesaan yaitu masyarakat desa selalu memiliki
ciri-ciri dalam hidup bermasyarakat, yang biasa nampak dalam perilaku
keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian
karakteristik dapat dicontohkan pada kehidupan masyarakat desa di jawa.
Namun dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan serta teknologi dan
informasi, sebagian karakteristik tersebut sudah tidak berlaku. Berikut
ini ciri-ciri karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika
dan budaya mereka yang bersifat umum.
- Sederhana
- Mudah curiga
- Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku didaerahnya
- Mempunyai sifat kekeluargaan
- Lugas atau berbicara apa adanya
- Tertutup dalam hal keuangan mereka
- Perasaan tidak ada percaya diri terhadap masyarakat kota
- Menghargai orang lain
- Demokratis dan religius
- Jika berjanji, akan selalu diingat
Sedangkan
cara beadaptasi mereka sangat sederhana, dengan menjunjung tinggi sikap
kekeluargaan dan gotong royong antara sesama, serta yang paling menarik
adalah sikap sopan santun yang kerap digunakan masyarakat pedesaan.
Berbeda
dengan karakteristik masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan lebih
mengutamakan kenyamanan bersama dibanding kenyamanan pribadi atau
individu. Masyarakat perkotaan sering disebut sebagai urban community.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu:
1.
kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan
keagamaan di desa. Masyarakat kota hanya melakukan kegiatan keagamaan
hanya bertempat di rumah peribadatan seperti di masjid, gereja, dan
lainnya.
2. orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain
3. di kota-kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan, karena perbedaan politik dan agama dan sebagainya.
4. jalan pikiran rasional yang dianut oleh masyarkat perkotaan.
5. interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.
Hal
tersebutlah yang membedakan antara karakteristik masyarakat perkotaan
dan pedesaan, oleh karena itu, banyak orang-orang dari perkotaan yang
pindah ke pedesaan untuk mencari ketenangan, sedangkan sebaliknya,
masyarakat pedesaan pergi dari desa untuk ke kota mencari kehidupan dan
pekerjaan yang layak untuk kesejahteraan mereka.